Kamis, 02 Agustus 2012

TOBA, TEORI BENCANA DAN PANORAMA LUAR BIASA

Panorama Danau Toba di sekitar Tuktuk (Foto: Annette Horschmann)
Oleh: Mario Zebedia
Mereka yang pernah menikmati keelokan Danau Toba mungkin tidak dapat membayangkan kengerian yang ditimbulkan dalam proses ”penciptaannya”.
Begitu melintas di kelokan jalan mendekati Parapat, kota wisata di pinggir Danau Toba, birunya hamparan air dan panorama dinding batu perbukitan Pulau Samosir yang menjadi latar langsung memesona.
Keindahan panorama Danau Toba tidak terjadi begitu saja. Danau vulkanik terbesar di dunia itu terbentuk dari rangkaian proses geologis dan vulkanis mahadahsyat. Setidaknya ada tiga letusan gunung api besar mengiringi terbentuknya Danau Toba. Letusan terakhir terjadi 74.000 tahun silam.
Majalah Science mencatat, letusan termuda Gunung Toba merupakan peristiwa vulkanis paling besar di bumi dalam dua juta tahun terakhir. Letusannya memuntahkan 2.800 kilometer kubik magma, yang 800 kilometer kubik di antaranya terbang ke atmosfer, menyelimuti lapisan Bumi sepanjang Laut China Selatan hingga Laut Arab.
Adalah antropolog University of Illinois di Urbana-Champaign, Stanley Ambrose, yang pada tahun 1998 memperkenalkan Teori Bencana Toba. Berdasarkan teori ini, letusan Gunung Toba mengubah iklim global. Akibatnya, populasi manusia berkurang drastis. Garis evolusi yang menghubungkan spesies manusia modern dengan primata lain terputus. Teori ini memang diperdebatkan, tetapi cukup menggambarkan kedahsyatan letusan.
Kaldera yang terbentuk dari tiga kali letusan menjadi Danau Toba. Letusan terakhir menyempurnakan pembentukan Danau Toba dan Pulau Samosir, setelah letusan pertama 800.000 tahun silam hanya membentuk kaldera di sekitar Parapat hingga Porsea dan letusan kedua sekitar 500.000 tahun lampau membentuk kaldera di daerah Haranggaol dan Silalahi.
Sekarang, bekas peristiwa vulkanik luar biasa ini hanyalah keindahan alam. Kaldera besar menjadi danau dengan panjang mencapai 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Bukit-bukit batu terjal yang mengelilingi danau terlihat eksotis. Kecuramannya menghunjam langsung ke pinggiran danau. Pulau Samosir mirip dinding batu raksasa membentengi air danau.
Panoraman Pulau Samosir di sekitar desa Hatoguan dengan latar belakang Danau Toba dan gunung Pusuk Buhit (Foto: Jonter Sitohang)
Panorama Pulau Samosir sekitar Desa Hatoguan dengan latar belakang Danau Toba dan gunung Pusuk Buhit (Foto: Jonter Sitohang)
Saking luar biasanya panorama ini, Pangeran Bernard dari Belanda mengizinkan namanya dipakai ”menjual” Danau Toba. ”Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba,” puji sang pangeran saat berkunjung ke Toba tahun 1996.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Danau Toba adalah salah satu tujuan wisata utama. ”Penerbangan langsung Eropa-Medan sempat ada sebelum krisis. Garuda dan KLM dari Eropa transit di Medan sebelum lanjut ke Denpasar,” ujar pemilik salah satu hotel di Parapat, Hendry Hutabarat.
Turis-turis Eropa seolah tak puas hanya menikmati Lake Como di Italia. Turis berkebangsaan Belanda, Nellie Tyssen, mengatakan, ”Di sini saya tak perlu khawatir kedinginan ketika di Eropa justru sedang musim dingin. Saya tak bosan tiap tahun datang ke sini.”
Hampir semua wilayah sekeliling danau punya panorama alam yang jadi tujuan wisata. Semua terbagi dalam tujuh kabupaten, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.
Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut.
Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30.000 hingga Rp 500.000 per malam tergantung tipe hotel.
”Kami menawarkan harga berkisar Rp 30.000 hingga Rp 70.000 per malam untuk kamar yang bersih, air panas, dan suasana yang hommy bagi turis backpacker. Mereka sangat menyukai suasana rumahan yang kami tawarkan,” kata Bulan Sitepu, pengelola Liberta Homestay di Tuktuk.
Hantaman krisis ekonomi tahun 1997 membuat pariwisata di Danau Toba meredup. Tak ada lagi penerbangan langsung dari Eropa ke Medan. Jumlah turis asing menyusut drastis. Sejak krisis, Tuktuk seperti kota mati.
Perlahan, seiring membaiknya perekonomian dalam negeri, turis domestik menjadi penopang pariwisata Danau Toba. Turis dari negara tetangga, Malaysia dan Singapura, pun makin banyak yang datang karena relatif lebih dekat.
Perjalanan darat ke Parapat memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet.
Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam. Saat turis asing masih ramai berkunjung ke Danau Toba, dari Pematang Siantar mereka naik becak bermesin sepeda motor BSA, kendaraan sisa Perang Dunia II yang kini dijadikan becak mesin.
Kita mulai menikmati suasana budaya Batak begitu sampai Pematang Siantar. Warganya berbicara dalam bahasa Batak Toba atau Batak Simalungun. Etnis Batak secara kultural menjadikan Danau Toba sebagai ”rumah” dan pusat mitologi. Orang Batak percaya, situs Batu Hobon di Pulau Samosir dan Pusuk Buhit, bukit batu tertinggi di pulau ini, menjadi tempat nenek moyang mereka turun ke bumi.
Tak hanya keindahan panorama alam yang menjadi sumber penghidupan penduduk dari sektor wisata. Air danau juga cocok untuk budidaya ikan nila. Ribuan keramba jaring apung tempat budidaya ikan nila menghidupi ribuan keluarga. Perusahaan asal Swiss memiliki 1.780 keramba ikan nila kualitas ekspor. Produksi ikan nila dari Danau Toba mencapai 50.000 ton setiap tahun. Separuh di antaranya diekspor dengan nilai hampir Rp 500 miliar.
Ternyata, bencana yang hampir memusnahkan ras manusia di bumi ini sekarang menjadi sumber penghidupan manusia.

0 komentar:

Posting Komentar