Jumat, 20 Mei 2011

Tomok Danau Toba >> Rumah Adat Batak

Rumah adat suku Batak di Pulau Samosir masih cukup bertahan. Tetapi pada umumnya rumah-rumah tersebut sebagian besar materialnya terbuat dari kayu kini usianya sudah cukup tua. Sebagai akibat sulitnya memperoleh bahan baku kayu. Masyarakatnya tak lagi membangun rumah seperti itu. Alasan utama sulitnya bahan baku dan perawatan yang mahal. Kedua bangunan adat seperti itu tentunya untuk masa kini dirasa kurang praktis. Penataan interior-nya terasa tidak berkesan privacy. Klik ke www.mediaturismeindonesia.com

danau toba

Keindahan Danau Toba tercipta dari bencana


Pesona Wisata Tuk-tuk - Seorang wisatwan asing berjalan menyusuri jalanan di Tuk-Tuk, Pulau Samosir, Sumatera Utara, Kawasan Tuk-tuk yang sempat terpuruk sejak krisis moneter 1997 berusaha bangkit dan menjadi primadona daya tarik wisatawan di kawasan Toba Samosir.
Begitu melintas di kelokan jalan mendekati Parapat, kota wisata di pinggir Danau Toba, birunya hamparan air dan panorama dinding batu perbukitan Pulau Samosir yang menjadi latar langsung memesona.
Keindahan panorama Danau Toba tidak terjadi begitu saja. Danau vulkanik terbesar di dunia itu terbentuk dari rangkaian proses geologis dan vulkanis mahadahsyat. Setidaknya ada tiga letusan gunung api besar mengiringi terbentuknya Danau Toba. Letusan terakhir terjadi 74.000 tahun silam. 
Majalah Science mencatat, letusan termuda Gunung Toba merupakan peristiwa vulkanis paling besar di bumi dalam dua juta tahun terakhir. Letusannya memuntahkan 2.800 kilometer kubik magma, yang 800 kilometer kubik di antaranya terbang ke atmosfer, menyelimuti lapisan Bumi sepanjang Laut China Selatan hingga Laut Arab.
Sekarang, bekas peristiwa vulkanik luar biasa tersebut mewariskan keindahan alam. Kaldera besar menjadi danau dengan panjang mencapai 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Bukit-bukit batu terjal yang mengelilingi danau terlihat eksotis. Kecuramannya menghunjam langsung ke pinggiran danau. Pulau Samosir mirip dinding batu raksasa membentengi air danau.
Saking luar biasanya panorama ini, Pangeran Bernard dari Belanda mengizinkan namanya dipakai "menjual" Danau Toba. "Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba," puji sang pangeran saat berkunjung ke Toba tahun 1996.
Hampir semua wilayah sekeliling danau punya panorama alam yang jadi tujuan wisata. Semua terbagi dalam tujuh kabupaten, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.
Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut.
Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30.000 hingga Rp 500.000 per malam tergantung tipe hotel. "Kami menawarkan harga berkisar Rp 30.000 hingga Rp 70.000 per malam untuk kamar yang bersih, air panas, dan suasana yang hommy bagi turis backpacker. Mereka sangat menyukai suasana rumahan yang kami tawarkan," kata Bulan Sitepu, pengelola Liberta Homestay di Tuktuk.
Perjalanan darat ke Parapat memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet. 
Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam.
Saat menikmati keelokan Danau Toba, mungkin tak ada yang membayangkan kengerian yang ditimbulkan dalam proses "penciptaannya". Ternyata, bencana yang hampir memusnahkan ras manusia di bumi ini sekarang menjadi sumber penghidupan manusia.

batu gantung

Asal-usul Nama Kota Parapat .

Juni 8, 2009
gambar batu gantung di parapat[gambar batu gantung]Nah,…begini ceritanya,
Media Online Bersama Toba dot Com – Alkisah, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Sumber:
* http://literature.melayuonline.com/
* Isi cerita diringkas dari Syamsuri, Maulana. t.t. Danau Toba dan Pulau Samosir dengan Beberapa Dongeng Sumatra Utara. Surabaya: Greisinda Press.
* Anonim. “Menikmati Keindahan Parapat”, :http://www.silaban.net/2007/06/30/menikmati-keindahan-parapat/#more-2245, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Anonim. “Parapat, Keindahan di Tepi Danau”, www.budpar.go.id, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Anonim. “Parapat”, http://id.wikipedia.org/wiki/Parapat”, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Effendy, Tenas. 1994. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau.Pekanbaru: Bappeda Tingkat I Riau.
* ——-, 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.

Pencarian pada artikel ini: