Selasa, 31 Mei 2011

Kisah Frans Hunter Siboro di Danau Toba

Danau Toba. Frans Hunter Siboro
-Awalnya hanya tiga obyek wisata yang menjadi target untuk kami kunjungi dalam perjalanan dari Medan menuju Tarutung pada awal Agustus lalu. Ketiganya adalah Tomok di Pulau Samosir, Taman Wisata Iman di Sitinjo, dan Salib Kasih di Tarutung. Ternyata, sepanjang perjalanan sejauh sekitar 283 kilometer itu, kami dapat menyinggahi lebih banyak lagi obyek wisata lainnya.

Kami berempat, yakni saya, Kak Ratna, Mamah, dan Papah, memulai perjalanan pada Senin sore dari Kota Medan menuju ke arah utara. Kami menyewa mobil Kijang yang disopiri Sihar, penduduk asli Pulau Samosir. Tujuan pertama kami adalah kawasan wisata dataran tinggi yang amat terkenal: Berastagi, sekitar 66 kilometer dari Medan.

Petang itu, cuaca terasa lebih dingin begitu memasuki kota di Kabupaten Karo ini. Berastagi berada di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut. Kondisi tanahnya yang subur membuat Berastagi menjadi pemasok sayuran dan buah-buahan yang segar bagi Kota Medan, bahkan sampai ke Pulau Jawa.

Matahari sudah penuh terbenam saat kami tiba di sana. Kami pun langsung menuju Taman Bunga Gundaling, yang menjadi kebanggaan warga Berastagi. Letaknya sekitar 10 menit perjalanan dari pusat kota. Taman ini berada di Bukit Gundaling, yang ketinggiannya sekitar 1.575 meter di atas permukaan laut.

Teh manis hangat membantu kami menyiasati udara yang terasa menusuk tulang, sambil menyaksikan panorama Kota Berastagi pada malam hari. Sayangnya, kami datang pada malam hari, jadi tidak bisa menikmati panorama taman ini secara utuh. Misalnya menyaksikan Gunung Api Sibayak, Sinabung, dan Barus.

Setelah puas menikmati lampu-lampu Kota Berastagi, dan udara semakin dingin, kami segera turun. Sasaran kami adalah pusat penjualan makanan di pinggir jalan di tengah Kota Berastagi. Ikan bakar menjadi menu pilihan makan malam. Tak lupa kami memesan jus terung, minuman khas Berastagi. Malam semakin larut, kami memutuskan mencari penginapan di Kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.

***

Pukul tujuh pagi kami sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan di dalam Kota Kabanjahe, kami disuguhi keelokan arsitektur bangunan-bangunan kantor Pemerintah Kabupaten Karo yang khas. Atapnya berbentuk limas segi empat dan kepala kerbau pada bagian puncaknya. Mereka menyebutnya rumah adat Karo Si Waluh Jabu. Sesuai dengan tradisi, dalam satu Si Waluh Jabu didiami oleh delapan keluarga inti. Dalam bahasa Karo, "waluh" berarti "delapan" dan "jabu" artinya "keluarga".

Tujuan kami adalah obyek wisata air terjun Sipiso-piso di Desa Togging, Kecamatan Merek. Namun kami tergoda untuk berhenti begitu melihat kebun-kebun jeruk yang siap panen berada di sisi kiri dan kanan jalan. Setelah bernegosiasi harga dengan pemilik kebun, kami dibekali keranjang. Tanpa menunggu aba-aba, saya langsung berburu jeruk yang terlihat paling ranum.

"Benar-benar luar biasa manisnya," ujar Ratna setengah berteriak setelah mencicipi jeruk yang baru dipetiknya. Inilah jeruk medan asli! Harganya cukup murah, Rp 40 ribu untuk 5 kilogram. Di sepanjang perjalanan, para petani menjajakan jeruk yang telah dikemas dalam kantong sekiloan, harganya Rp 10-15 ribu.

Air terjun Sipiso-piso, air terjun di atas danau, lokasinya dekat dengan kawasan wisata Desa Tao Silalahi. Berada di ketinggian lebih-kurang 800 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi bukit hijau dan ditumbuhi pohon pinus. Sipiso-piso berasal dari kata "piso", yang artinya "pisau". Derasnya air yang berjatuhan dari bukit diumpamakan bilah pisau yang tajam. Jurang yang curam dilihat dari puncak bukit membuat orang setempat menyebutnya pisau dari Tanah Karo. Air terjun ini tingginya 120 meter, lalu mengalir ke Danau Toba.

Tak terasa, kami pun meninggalkan wilayah Kabupaten Karo menuju Kabupaten Tapanuli Utara. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi keindahan Danau Toba--yang disebut sebagai Sijujung Baringin atau obyek wisata utama Sumatera Utara. Danau seluas 1.072,16 kilometer persegi itu merupakan danau terbesar di Asia Tenggara.

Sekitar pukul satu siang kami tiba di Parapat. Tak mengherankan bila perut terasa keroncongan. Tapi kami harus menahan rasa lapar tersebut karena harus mengecek jadwal keberangkatan feri menuju Pulau Samosir. Biayanya Rp 95 ribu untuk penumpang berikut mobil. Ternyata feri baru akan berangkat sejam kemudian. Ah, lega... cukup waktu untuk bersantap siang sambil menikmati ikan pora-pora kecil yang dijala di pinggir danau.

Feri yang membawa kami merapat di Pelabuhan Ajibata, Pulau Samosir, menjelang pukul 15.00. Dari Ajibata, kami langsung menuju Tomok, desa tua dari suku Batak bermarga Sidabutar. Desa itu berada di pesisir timur pulau seluas 630 kilometer persegi ini. Perjalanan memakan waktu satu jam.

Tiba di depan gerbang kompleks, kami disambut seorang pemandu. Dia menjelaskan kisah para Raja Sidabutar, yang hidup sekitar 400 tahun lalu. Dalam area yang tidak terlalu luas ini, terdapat makam para raja dan keluarganya yang masih terbuat dari batu alam. Ukurannya sangat besar: panjang sekitar 2 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 1,5 meter.

Kemudian kami berjalan kaki menuju rumah khas suku Batak yang disebut rumah Gorga, yang artinya rumah berukir. Atapnya masih terbuat dari ijuk. Di dalam rumah hanya terdapat satu buah ruangan besar yang dihuni oleh keluarga besar.

Bapak Sidabutar, si pemandu, juga menjelaskan asal mula boneka khas suku Batak yang bernama Sigale. Konon, boneka tersebut dibuat oleh seorang dukun untuk menghibur permaisuri Raja Harahap yang bersedih karena ditinggal mati oleh anak semata wayangnya. Boneka diberi nama si Raja Manggale, yang kemudian orang terbiasa menyebutnya Si Gale-gale, dipercayai dulu digerakkan oleh kekuatan magis.

Untuk mengenangnya, di salah satu rumah Batak yang kami kunjungi terdapat Sigale. Kami pun menari tortor (tarian khas suku Batak) bersama Sigale diiringi alunan gondang--seperangkat alat musik khas suku Batak--yang keluar dari pemutar kaset. Kami menari di tengah lapangan, selama sekitar 15 menit atau tiga tahap tarian. Walaupun hanya 15 menit, keringat membasahi tubuh kami.

Selesai menari, kami berjalan lagi menuju museum suku Batak, yang berisi aneka benda yang digunakan masyarakat suku Batak dalam kehidupan sehari-hari, seperti peralatan masak dan bertani. Juga ada satu set pakaian raja dan permaisuri suku Batak, berikut tongkat kebesaran yang dapat digunakan oleh pengunjung untuk berfoto. Menggunakan fasilitas ini, pengunjung tidak dikenai biaya.

Saat gelap menyergap, kami memutuskan menginap di Tuktuk, yang menjadi lokasi favorit wisatawan mancanegara. Maklum, selain letaknya tak jauh dari Danau Toba, lingkungannya bersih alami, rumah penduduknya pun masih jarang. Berbeda jauh dengan Tomok, yang terkesan tidak terawat dan padat penduduknya. Tarif penginapan di sini berkisar Rp 200-500 ribu per malam.

Pukul lima pagi, di hari ketiga, kami sudah bangun. Hari masih gelap, tapi udara tidak terlalu dingin. Kami langsung menuju danau untuk menikmati keindahannya. Di kejauhan tampak perahu-perahu kecil nelayan menangkap ikan dengan cara tradisional. Untuk sarapan pagi, kami membeli ikan mujair hasil tangkapan nelayan, yang dijual Rp 20 ribu per kilogram. Mujair kami panggang sendiri. Terasa nikmat atau karena bercampur rasa lapar yang menyergap.

Kondisi jalanan yang berbukit-bukit sepanjang pinggir danau menjadikan sepeda sebagai pilihan transportasi menarik bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan Danau Toba dari Tuktuk. Sejumlah tempat telah menyediakan fasilitas penyewaan sepeda dengan tarif Rp 3.500 per jam. Bersepeda pada pagi hari menyusuri danau sungguh menyenangkan. Udara masih bersih dan terasa sejuk.

Masih belum puas menikmati keindahan Danau Toba yang luar biasa, kami pun mengambil jalur lewat Menara Penatapan Tele untuk melihat sisi lain Danau Toba ketika berangkat menuju Tarutung. Sebelumnya, kami menuju Aek Si Pitu Dai (air tujuh rasa), lalu ke Batu Hobon (batu besar yang tidak bisa diangkat dari zaman Belanda sampai sekarang), dan Patung Tatea Bulan, anak sulung si Raja Batak.

Jalan yang kami lewati terus menanjak, berliku-liku. Di sisi kiri dan kanan berupa tebing dan jurang serta bukit yang botak. Jadilah jalan ini bukan pilihan para wisatawan. Hanya pengemudi yang berpengalaman yang dapat melintasi jalur ini. Tapi, setelah sampai di puncak, yang bernama Menara Penatapan Tele, pemandangan yang disajikan sungguh luar biasa. Perasaan cemas sepanjang perjalanan langsung sirna, terobati oleh keelokan

Danau Toba.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Sitinjo di Kabupaten Sidikalang, kami menikmati arsik ikan mas. Salah satu masakan khas kawasan Tapanuli yang populer. Masakan ini dikenal pula sebagai ikan mas bumbu kuning. Menu ini terbuat dari ikan mas yang direbus dengan bumbu-bumbu khas daerah suku Batak Toba, dan dimasak sampai airnya kering.

Taman Wisata Iman di Desa Sitinjo kami capai sekitar pukul tiga sore. Kondisi jalan baik dan telah beraspal. Di area seluas 130 ribu meter persegi ini, pengunjung tak cuma bisa menikmati keindahan alam Sidikalang. Juga mengagumi lima tempat ibadah dari lima agama di Indonesia, beserta replika beberapa peristiwa yang tertulis dalam Kitab Suci.

Tiba di Tarutung, badan ini penat bukan kepalang. Lepas pukul 22.00, kami pun langsung terlelap. Pagi harinya kami mandi di Pemandian Air Soda, Dusun Aek Siansimum, Desa Parbubu Sada, yang dikelola penduduk sekitar. Di pemandian ini tidak ada pembayaran tiket. Hanya membeli telur, roti, gorengan, atau teh manis sebagai penggantinya.

Istimewanya, kami berendam air soda di tengah sawah, sambil memandang keindahan Gunung Dolok Martimbang. Kolam air soda itu hanya berukuran sekitar 150 meter persegi, sedalam 140 sentimeter. Di sisi pemandian agak dangkal, karena diberi batu-batu alam. Uniknya, tubuh akan mengapung bila kita telentang atau telungkup di atas air. Kolam ini disebut air soda karena rasanya memang seperti soda.

Menjelang siang hari, kami menuju Monumen Salib Kasih di puncak Dolok Si Atas Barita, yang diakui sebagai tempat pertama kalinya Ingwer Ludwig Nomensen, misionaris asal Jerman, menyebarkan agama Kristen ke masyarakat Batak. Lokasi wisata ini tertata cukup rapi, dan menyediakan gerai suvenir. Beberapa di antara kami membeli syal, buku Ende (pujian bahasa Batak), dan kaus bertulisan "Salib Kasih".

Dalam perjalanan pulang, kami mengambil rute Deli Serdang Bedagai, yang terkenal dengan dodol pulut yang legit dan gurih. Empat hari perjalanan nan melelahkan itu memberi kami banyak pelajaran tentang adat, budaya, dan sejarah Batak Toba dari Samosir.

Aek Natonang, Danau di Atas Danau

Berjalan di sisi sebuah danau memang mengasyikkan. Air, bagian terpenting dari alam, memang selalu mampu menawarkan sejuta interpretrasi tentang kesempurnaan sebuah keindahan, apalagi di sebuah wilayah yang masih alami.Tanpa sentuhan manusia-manusia serakah, penjahat-penjahat alam sebuah istilah untuk para penebang-penebang hutan liar.
Bagaimana menggambarkan sebuah danau di atas danau? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika mendengar dan membaca sekilas untuk menjelaskan Danau Aek Natonang, yang berada di dataran tinggi wialayah Samosir ini.
Di Kabupaten Samosir sebenarnya terdapat dua danau di atas danau. Pertama Danau Sidihoni, jaraknya sekitar 8 kilometer dari Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau ini tampaknya “merana” alias belum dikelola dengan baik. Sayangnya lagi, sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Selain itu, terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan.
Itulah Samosir. Kabupaten yang baru dimekarkan pada tahun 2003 ini memang memiliki banyak potensi di sektor pariwisata. Danau Sidihoni, yang kini merana ternyata bukan dialaminya sendirian. Danau induknya, Danau Toba, juga merana. Ia mendapatkan “perlakuan” yang sama dari masyarakat maupun pemerintah setempat dan pusat.
Seandainya ia bisa berbicara, ia pasti berontak. Seandainya ia memiliki air mata, mungkin ia akan menangis sepanjang waktu dan air matanya tu akan menjadi air danau yang jernih.” Dalam perjalanan pulang, saya mengandai-andai.
Masyarakat memperlakukannya seperti kamar mandi, mandi sesuka hati, mencuci pakaian, hingga buang hajat. Itulah yang terjadi dengan danau terbesar di Asia Tenggara itu
Lupakan saja sejenak tentang nasib Danau Toba. Sekarang, tibalah saatnya mengunjungi lokasi wisata yang hampir jarang disentuh kaki manusia itu. Di mana? Jawabannya, Danau Aek Natonang. Bangaimana menuju ke sana?
Inilah yang menjadi persoalan sejak menginjakkan kaki di Bumi Samosir itu, baru-baru ini. Sejak tiba di Kecamatan Pangururan melalui jalan darat lintas Tele dari Kabupaten Sidikalang, seorang pedagangmakanan menjelaskan di ibukota kabupaten seluas 1.419,05 km itu
Ia pun bercerita, tapi dengan terlebih dahulu memesan mie rebus. Sangat pas dengan kondisi cuaca, dingin. Berdasarkan ceritanya inilah kami memulai perjalan menuju danau yang semakin “misterius” — setidaknya buat saya – esok harinya.
Dari Pengururan perjalanan kami lanjutkan menuju Tomok, yang dikenal dengan atraksi pertunjukan patung Sigale-galenya. Konon, menurut Sidabutar (46), pengelola Museum Tomok, kata “Tomok” berasal dari kata “Tolmok” yang artinya seorang anak laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh gemuk dan pendek. “Tapi tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu pendek, sedang-sedanglah” katanya ketika kami mengujungi museum yang penuh dengan benda-benda bersejarah peninggalan suku Batak itu.
Secara detail ia pun menerangkan satu-persatu benda pusaka yang susah payah didapatinya itu, mulai dari Hobbung tempat tidur Raja Sidabutar yang sekaligus dijadikan sebagai tempat penyimpanan harta sang raja), Tongkat Tunggal Panaluan, Laklak (buku yang mencatat sejarah Batak dan kalender penanggalan kuno), rudang, ulos, appang na bolon, parhokkom, pangir.
“Salah satu upaya untuk melestarikan peninggalan yang banyak menyimpan nilai seni dan budaya Batak itu, setiap tahunnya dirayakan dengan menyelenggarakan upacara yang disebut dengan Horja Bios” katanya dengan semangat
Perjalanan dimulai. Saya pun teringat sebuah ucapan, entah sebuah lirik lagu atau suara dari sebuah iklan di TV: “it’s show time”.
Dengan terlebih dahulu menyewa sebuah motor bebek seharga Rp 50 ribu kami pun memulai perjalanan menuju Danau Aek Natonang. “Jika lae mau ke Danau Aek Natonang, di sana kau akan menemukan sebuah persimpangan tepatnya di sebelah kanan, nah dari situ jalan terus, tapi hati-hati jalannya parah,” kata seorang yang tak kukenal memberi petunjuk.
Sejauh sekitar 1,5 jam terasa melelahkan. Akses jalan berliku-liku dan mendaki. Setelah melalui Desa Parmonagan kami pun tiba di Desa Tanjungan tempat di mana Danau Aek Natonang berada. Memang, sebelum mencapai Parmonangan, akses jalan sudah diaspal hotmix meskipun ketika tiba di Desa Tanjungan, perjalanan mulai tergganggu akibat kondisi jalan yang samasekali tidak layak. Kondisinya parah dan memprihatinkan. Rusaknya jalan diakibatkan akses dipergunakan untuk keperluan truk-truk bermuatan kayu gelondongan dengan muatan berton-ton beratnya
Di Desa Tanjungan, tampak aktivitas kehidupan masyarakat seluruhnya bertumpu pada pertanian. Sebagian bekerja sebagai tukang potong kayu, entah untuk dibawa ke mana, namun setidaknya penebangan-penebangan itu, bukan tidak mungkin akan merusak tofografi yang mayoritas perbukitan yang landai. Sebagian juga ditanami dengan biji kopi, bawang dan kacang tanah
Danau Aek Natonang ternyata sangat indah. Meskipun airnya tidak sejernih air Danau Toba, namun ketenangan air dan suasana alamnya yang asri membuat siapa pun yang berkujung ke sini betah untuk berlama-lama. Sayang, di tempat ini belum terdapat satu pun sarana pendukung untuk mengundang minat wisatawan untuk berkunjung ke sini. Alhasil, kebosanan, mungkin menjadi sebuah “hadiah” yang lama-lama merasuk ketika tiba di sini
Itulah Danau Aek Natonang, kembali saya mengandai-andai: “Seandainya Danau-danau di Samosir ini (Danau Sidihoni, Danau Aek Natonang dan Danau Toba) bisa berbicara, mereka akan berontak, seandainya mereka bisa menangis, mungkin akan banyak danau-danau kecil akibat tangisan itu”. Tak tarasa kami sudah sampai di Tuktuk Siadong, tempat di mana kami menginap.